Jumat, 03 Februari 2012

Cerpen Terbitan 1

Bayang Gadis Senja



Telepon berdetak dalam kantong seragam pegawai milik Aran hingga taksabarkan untuk segera mengangkatnya. Ia raih dan menekankan tekan tombol panggilan. Ibu mengabarkan kalau adiknya Yuki dirawat di rumah sakit. Segumpal kecemasan menghinggapi seluruh otaknya.
Aran merapikan dokumen-dokumen yang dari tadi masih menunggu tuk dikerjakan. Ia ayuhkan kakinya meninggalkan langkah dari kantor. Ia melesatkan mobilknya menuju Rumah Sakit dimana adiknya dirawat. Terlihat ibu dan ayah menunggu di ruang UGD.
“Ibu, ayah, bagaimana keadaan Yuki?dia sakit apa?”, tanya Aran penuh ketegangan.
Ayah menyahut pertanyaannya.
“Tenanglah, dia hanya kelelahan karena serius maka kami bawa kesini..”
“Benar…Ran..dia tak apa”, kata ibu meredam ketenangan bagi Aran.
Yuki harus tetap menjalani rawat inap untuk memulihkan kesehatannya. Ibu, ayah dan Aran bergantian menjaganya. Ibu berjaga di pagi hari hingga siang, berikutnya ayah, sedangkan sore hari tugasnya untuk berjaga setelah ia pulang bekerja.

***
Jalan setapak menempatkan kaki Aran di atas pijakan keras berbatu. Sore senja giliran dia menjaga Yuki. Aran menyisihkan waktunya untuk membeli makanan bagi ibu dan ayahnya. Ia meletakkan makanan di atas meja berlapis baja. Ayah dan ibunya terbaring lelap di atas kursi sofa ruang rawat begitu juga Yuki yang masih tampak pucat akan sakitnya. Aran membiarkan mereka beristirahat sejenak menghempaskan kelelahan.
Menghirup udara segar dan sejuk di sekitar pertamanan rumah sakit. Ia berjalan-jalan memandangi alam buatan manusia itu. Taman yang sengaja diperuntukkan bagi para pasien menghibur raganya yang pucat akan keluh sakitnya. Itu juga dirasakan bagi para pengunjung pun bisa menikmatinya.
Aran menyusuri jalanan bebatuan yang tertata rapi berkelok. Kerikil-kerikil kecil menyelimuti tanah merah hingga takterlihat. Berdinding batu hitam menjulang tinggi di ujung taman dengan nuansa air terjun buatan. Hamparan bunga tulip menghiasi di setiap pagar taman. Burung-burung bersenda gurau di balik dahan-dahan pohon pinus nan rindang. Sorotan sinar senja menyilaukan pandangan Aran sehingga ia harus berhenti di bawah pohon. Kedua bola matanya menyusuri setiap pemandangan senja nan indah itu. Ketika matanya terpusat pada sesosok bayangan seorang gadis duduk bersandar di kursi yang letaknya di tengah taman.
Paras wajahnya lembut nan cantik. Gaun putih yang ia kenakan bersinar menambah sorotan cahaya di sore senja itu. Namun takpernah sesungging senyum di pipinya hanya bias kesuraman yang terlihat. Tetes-tetes embun sembab di kedua pelupuk matanya.
Gadis itu terpaku dan takberanjak dari posisi duduknya, hanya sesekali ia membelai rambut hitam panjangnya.
Aran terhenyak ketika ayahnya memanggil namanya. Entah berapa lama ia terhanyut dalam suasana indah. Ia segera berlari meninggalkan gadis senja itu mengikuti jejak ayahnya ke ruang rawat Yuki. Bayangan gadis senja di taman itu masih membekas saat aku beranjak tidur. Apa yang terjadi padanya hingga wajahnya suram, batinnya sesaat.
***
Seperti biasa, Aran membawa jiwa dan raganya di pagi hari ke tempat kerjanya hingga senja datang. Hari yang bercuaca takmendukung segala aktivitasnya. Mendung tebal menyelimuti langit-langit hingga hitam kelam. Sebelum ia berangkat menjaga Yuli di rumah sakit. Ia membeli beberapa potong kue kesukaan adiknya.
Kamar rawat Yuki terdengar senda gurau yang ramai. Aran memastikan ke ujung pintu, terlihat banyak sepupunya yang berkunjung di sana. Ia bertegur sapa dengan mereka sambil meletakkan bungkusan kue. Sesaat kemudian Aran keluar dari keceriaan mereka. Ia menengok ke atas langit. Matahari senja mulai menampakkan kembali sedikit wajahnya setelah seharian kepulan hitam menggelantungi dirinya. Aran sempat khawatir bahwa ia takbisa menikmati senja di taman dan lebih lagi gadis senja itu.
Ia berjalan menghirup aroma bunga tulip bermekaran di tengah taman. Ada beberapa pengunjung menyisihkan waktu untuk merasakan udara senja di sana. Aran terhenyak tiba-tiba pada bayangan di kursi taman. Ia memasang matanya lekat-lekat dengan memastikan apakah bayangan itu gadis kemarin. Dugaan dirinya benar, gadis senja sore itu yanh masih berparas suram.
Aran menyembunyikan tubuhnya dibalik pohon agar gadis itu takmelihatnya. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Ia menghampiri tangkai-tangkai tulip ungu di dekat seorang tukang kebun yang sedari tadi memangkasi ilalang di sekitar taman. Terlihat gadis itu memungut satu tangkai tulip cantik berwarna ungu. Ia cium keharuman bunga itu. Langkahnya kembali pada kursi taman sebelumnya.
Selangkah kaki Aran yang berkasud menghampiri gadis cantik itu. Suara namanya menggema di kedua telinganya.
“Ran..Aran..cepat kemari..”
Aran menengok asal suara. Sepupunya menghalau-halau dari seberang. Aran menyempatkan untuk melirik gadis itu kembali namun tak ada seorang pun lagi di kursi taman. Sebersit kekecewaan berlabuh di hatinya.

***
Mentari terang pertanda hari yang cerah. Awan biru berkelabut putih menghempas di langit luas. Seperti hati Aran yang merasa senang karena adiknya Yuki telah diijinkan pulang oleh dokter. Nampak di wajah Yuki terhais rona senyum ceria.
Siang hari Aran datang lebih awal untuk menjemput Yuki. Ayah dan ibunya mengemasi barang-barang. Aran mengurus administrasi pembayaran di tempat kasir rumah sakit.
Sebuah rasa kerinduan tiba-tiba menyerbu di relung hatinya, saat ia melintasi taman. Ingatan tentang wajah biasan gadis yang belum sempat ia kenal. Pikirannya berkecamuk karena ia tak dapat kembali menjumpainya setelah Yuki sudah tidak lagi dirawat di rumah sakit. Aran berharap kesempatan berpihak padanya untuk mempertemukan dirinya dengan gadis senja.
Setelah pembayaran selesai, Aran menyusuri lagi lorong demi lorong menuju kamar rawat Yuki. Berjejal orang bergemuruh di depan ruang dekat kamar rawat Yuki. Terdengar suara tangisan yang mengharubirukan wajah mereka. Kegundahan bergelamuk di hati Aran. Apa yang terjadi pada Yuki, batinnya. Namun tak ia kenali wajah-wajah di sana. Ia mempercepat langkah hingga pintu kamar rawat Yuki. Ia menghela nafas lega sejenak ketika ia mendapati bahwa itu bukan terjadi di kamar Yuki. Seorang pasien baru saja menghembuskan nafas terakhirnya.
Rintihan, kekecewaan, kesedihan membanjiri kamar sebelah kamar rawat Yuki ketika jenazah dibawa keluar ruangan. Aran memaandangi seksama jenazah yang telah terbujur kaku berselimut kain putih. Hembusan angin senja menyingkap kain penutup hingga terlihat wajah jenazah itu. Aran tergagap waktu melintas di depannya. Pikirannya membeku, memori demi memori menggentayangi jelas di otaknya.
Ia mendapati wajah gadis senja pada wajah milik jenazah itu. Akankah ini gadis senja yang aku temui sore itu?, pertanyaan bertubi-tubi dalam benaknya. Ia masih tetap berdiri membeku bersama kegetiran prasangka dirinya hingga jenazah itu lenyap dari pandangannya, hanya suara tangis masih jelas terdengar. Ia menghentikan seorang perawat yang sedari tadi membersihkan kamar rawat.
“Suster, maaf..apa yang terjadi pada pasien di kamar ini?”, tanya ia terbata-bata.
“Oh..Nona Seina..dia adalah seorang gadis yang lembut dan berparas cantik.. saying dia telah divonis menderita kanker darah..yang harus dirawat di sini sejak satu bulan lalu..ia tertidur lama dan akhirnya dia pergi untuk selamanya..Kasihan sekali..”, terang suster menceritakan dengan suara yang iba.
Aran terpana dan membisu seiring suster meninggalkan dirinya terpaku. Siapa gadis yang selama ini aku jumpai di taman? Akankah dia?, Aran menerka penuh kebimbangan.
Matahari menuruni awan yang membukit di atasnya. Sinar kuning reremangan hitam menggantikan kehadirannya. Senja pun datang.
Aran berjalan beriringan bersama ayah, ibu dan adiknya meninggalkan kamar rawat. Wajahnya masih tetap beku dan suram. Hatinya berdesir saat melewati taman. Ada sesuatu yang mendorongku untuk menghampiri kursi taman. Tak ada seorang gadis di sana tak seperti senja-senja sebelumnya. Hanya seorang tukang kebun yang tiap sore membersihkan taman. Aran berlari dan menghampirinya.
“Paman, apa paman mengenal gadis yang kemarin sore mungkin setiap hari ada di kursi taman itu?”, tanyanya sambil menunjuk pada kursi bercat coklat.
“Kemarin sore seingat paman takada yang duduk di situ”, terangnya.
“Kalau gadis yang memungut bunga tulip di dekat paman kemarin sore, apakah paman mengenalnya?”, tanyaku penuh ketegasan.
“Maaf nak, aku tidak pernah menjumpai gadis itu..dan kemarin tidak ada yang memungut bunga tulip..”, terang sekali lagi paman itu.
Sebuah kenyataan yang memangkas kekecewaan hati Aran. Gadis yang belum sempat ia kenal telah meninggalkan kenangan taman untuk selamanya dari kesuraman dunia saat senja sore. Aran hanya dapat menjumpai bayangan gadis di setiap memori sesaat yang berlabuh di hatinya.
Aran melanjutkan perjalanan pulang ke rumah bersama keluarganya. Ia bawa segala kenangan untuk ia jadikan cinderamata bagi dirinya yang berlabuh di hatinya.
Cahaya kuning mentari tenggelam di balik bayang kehitaman. Sang rembulan menggantikan tugasnya untuk pancarkan sinar gemerlap di atas langit berbintang. Senja sore meninggalkan yang sempat melambaikan perpisahan dari ufuk keindahan petang itu.